Saya tahu di luar sana banyak pasangan yang
bersepakat untuk tidak memiliki anak, dan banyak juga pasangan yang ingin
memiliki anak. Tergantung dari kesepakatan masing-masing pasangan. Namun
culture di Indonesia yaaa gitu, tetangga sekampung ikut maksa pasangan-pasangan
untuk memiliki anak. Bahkan memaksa agar pasangan-pasangan tersebut untuk
memiliki anak lebih dari satu. Tentu didahului oleh “never ending question” ~
Saya dan pak suami adalah pasangan yang
bersepakat untuk memiliki anak. Seperti kebanyakan pasangan lainnya yang
setelah menikah mengidam-idamkan hadirnya buah hati, kamipun begitu. Bagi kami
anak akan menjadi penyambung amal jariah, perekat keluarga, bagian dari
pembangun peradaban baik yang kami harapkan. Kedengarannya berat, tapi kami mau
belajar.
Setahun menikah belum ada tanda-tanda
kehamilan membuat saya berpikir berarti Allah belum percaya kepada kami. Mungkin
mental kami belum siap, egonya masih terlalu tinggi, emosi masih tidak
terkontrol atau masih ada rasa kurang syukur. Lagian kenapa harus
menggantungkan rasa bahagia terhadap benda? Anak kan juga benda, yang Allah
titipkan. Jadi sebenarnya rasa bahagia dalam pernikahan itu tidak bergantung
pada punya anak atau tidak. Bahagia ya ada di hati masing-masing.
Pelan-pelan saya menjauhkan perasaan-perasaan
galau akan kehadiran buah hati. Saya mengubah mindset saya, mengafirmasi diri
sendiri dengan pikiran positif. Saya menghindari orang-orang yang akan
memberikan efek negatif terhadap pikiran saya. Ternyata bersikap tidak peduli
dengan apa kata orang menyenangkan juga. Eh tapi selama ini saya sering tidak
peduli sih dengan apa kata orang….LOL. Saya memasrahkan diri, tidak memusatkan
pikiran terhadap apa yang tidak/belum saya punya. Lebih baik berfokus pada apa
yang sudah saya punya.
Meski begitu, saya dan pak suami tetap terbuka
dengan kemungkinan-kemungkinan memiliki seorang anak. Kamipun merencanakan
usaha-usaha yang akan kami tempuh. Mulai dari yang alami sampai dengan tindakan
medis. Saran-saran baik dan masuk akal kami terapkan juga. Observasi awal kami
lakukan untuk memeriksa kesehatan reproduksi kami masing-masing. Kenapa
masing-masing, karena keberadaan anak itu terwujud dari pertemuan dua orang,
suami dan istri. Jadi kalau si istri doang yang observasi kan nggak masuk akal.
Suami juga dong, biar tahu bagaimana kondisi masing-masing lalu bisa menjalani
tindakan-tindakan lanjutan yang sesuai.
Saya bersyukur memiliki pasangan yang
terbuka, open minded, punya penghargaan kepada orang lain, dan mau bekerja sama
~ bukan tipe lelaki kolot patriarki yang sok berkuasa.
Hampir setahun terakhir saya belajar beberapa
hal, sebagai bentuk persiapan memiliki anak. Mulai dari tentang kesehatan,
parenting dan tentu saja soal manajemen keuangan. Tahu kan punya anak itu
biayanya tidak sedikit, jadi harus persiapan. Belanja sekadarnya, menabung
sebanyak-banyaknya, bila perlu investasi. Masih kurang ilmunya tapi kami akan
terus belajar <3
***
Setelah genap dua tahun lebih satu bulan usia
pernikahan kami, saya mendapati testpack bergaris merah. Bukan hanya satu, tapi
DUA. Entah kenapa di hari itu (hari minggu di waktu magrib, kusungguh ingat) saya
berniat untuk melakukan testpack setelah setahun saya tidak pernah
melakukannya. Memang pada bulan itu saya sudah telat menstruasi selama satu
minggu tapi tetap ada keraguan untuk melakukan testpack karena biasanya selalu
sedih sehabis testpack. Tapi di satu sisi saya seperti punya feeling bahwa kali
ini akan positif. Pasalnya siklus menstruasi saya selalu tepat waktu lima bulan
terakhir. Sungguh dilematis saat itu.
Saya menguatkan diri untuk melakukan testpack
tanpa memberi tahu pak suami. Kemudian jantung saya berdetak kencang mendapati
dua garis merah muncul di alat testpack. Meskipun samar tapi terlihat bahwa
garisnya dua. Lalu bingung harus bagaimana…wkwkwk. Saya malah bingung bagaimana
mengabarkan ke pak suami. Maunya sih pake kejutan yang romantis-romantis kayak
orang-orang ya tapi boro-boro. Saya tidak mau deg degan sendirian. Langsunglah
saya kasitau pak suami yang juga diikuti oleh kebingungan. Jadi kami sama-sama
bingung. Campur aduk rasanya, excited, bahagia, tapi juga ada takutnya.
Untuk menghilangkan kebingungan dan keraguan
saya menghubungi adik saya yang lebih berpengalaman dan yess dia bilang
positif. Tapi untuk lebih meyakinkan dia menyarankan untuk testpack lagi besok
pagi setelah bangun tidur. Dan yaaaa, dua garis merah itu terlihat semakin
jelas. Tanpa sadar wajah saya membentuk senyum yang terus saja terpancar seharian.
Meski begitu saya masih punya perasaan takut, kalimat-kalimat “what if” berseliweran
di kepala saya. Bagaimana kalau tidak ada kantung janinnya? bagaimana kalau
kantung janinnya bukan di rahim tapi di tempat lain? dan bagaimana kalau
bagaimana kalau lainnya.
Tiga hari (26 Juni 2019) dari hari testpack
kami mendatangi praktik dokter kandungan yang mengobservasi kami di awal dulu.
Saya memilih dokter kandungan perempuan, karena merasa lebih nyaman. Dokter
melihat rekaman medis saya sebelumnya, lalu berkomentar “wah ternyata tinggal
nunggu dikasi saja ya” sambil tersenyum lebar. Komentar tersebut muncul karena
kami hanya datang satu kali ke dokter kandungan hanya untuk observasi awal saya
dulu, tahun lalu. Setelah itu dokter melakukan USG untuk mengecek kehamilan
saya. Alhamdulillah Alhamdulillah Alhamdulillah hasil USG-nya sesuai dengan apa
yang kami harapkan. Saya dinyatakan positif hamil dengan kantong janin berada
di rahim. Rasanya hati saya penuh dengan keharuan dan senang yang meluap-luap.
Sayapun melihat hal yang sama pada pak suami <3
usianya sudah lima minggu saat itu :') |
*Saya akan kembali dengan lanjutan #MarriedLife~#PregnancyStory di postingan berikutnya, stay tune!
Much Love,
A.
Kisahnya hampir sama, istri saya dapat 2 garis merah pas ulang tahun pernikahan kami yang ke dua hehe
ReplyDeletewaah...salam buat istrinya mas, sehat sehat selalu yaaa
Delete